JUDUL

GUGUSDEPAN BANYUMAS16.1406-16.1407 MI MA'ARIF NU 1 KALITAPEN

Thursday 1 December 2011

PORSENI SISWA KECAMATAN PURWOJATI

porseni adalah pekan olahraga dan seni yang di selenggarakan oleh kementerian agama terkait dengan penyelenggaraan kegiatan yang menunjang jiwa dan raga sehat bagi peserta didik. dalam waktu dekat akan diselenggarakan kegiatan PORSENI tersebut di tingkat kecamatan yang akan diselenggarakan pada tanggal 26 s.d 27 Desember bertempat di MI MUHAMADIYAH KARANG TALUN KIDUL> dalam kegiiatan tersebut akan dipilih beberapa kontingen Kecamatan purwojati yang mewakili untuk kegiatan PORSENI Kabupaten Banyumas.
diantara lomba-lombanya
1. MTQ
2. Kaligrafi
3. VOLLY BALL
4. Bulu tangkis
5. pidato 3 bahasa
6. tenis meja
7. lari
8. lompat tinggi
9. lompat jauh dll

MODEL PEMBELAJARAN MI MA'ARIF NU I KALITAPEN

Model Pembelajaran - Metode Mengajar“Cara mengajar yg dpt digunakan untuk semua bahan pelajaran” Misalnya:
Metode: ceramah, penemuan, ekspositori, diskusi, tanya jawab, pemecahan masalah, dsb. Teknik Mengajar“Cara mengajar yg memerlukan keahlian khusus atau bakat khusus”
Beberapa model pembelajaran matematika antara lain :


A.    Model pembelajaran dengan pendekatan induktif dan deduktif.

Kedua pendekatan ini merupakan pendekatan yang ditinjau dari interaksi antara siswa dengan bahan ajar. Kedua pendekatan ini saling bertentangan. Pendekatan deduktif merupakan suatu penalaran dari umum ke khusus, sedangkan pendekatan induktif suatu penalaran dari khusus ke umum.

  • Pendekatan deduktif berdasarkan penalaran deduktif.
  • Penalaran deduktif = cara berpikir menarik kesimpulan dari hal yang umum menjadi kasus yang khusus.
  • Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir silogisme; terdiri dari 2 macam pernyataan yang benar dan sebuah kesimpulan (konklusi)
  • Kedua pernyataan pendukung silogisme disebut premis (hipotesis): Premis Mayor dan Premis Minor.
  • Kesimpulan diperoleh sebagai hasil penalaran deduktif berdasarkan macam premi itu.



B.    Metode Ceramah yang Menyenangkan


Metode ceramah yang monoton, memanglah dirasakan sangat membosankan bagi para peserta didiknya, apalagi bila disajikan dalam bentuk dongeng, yang berfungsi sebagai pengantar siswanya untuk tidur di malam yang hening, bahkan kadang kala si pengajar melenceng dari materi yang semestinya disampaikan, justru ia malah menceritakan tentang keadaan keluarganya, sampai ke para tetangganya, seolah-olah si guru itu curhat kepada muridnya. Hal ini serupoa dengan sebuah situs dari internet yang menceritakan

Ini adalah contoh nyata dari bumi belahan lain di dunia pendidikan, oleh karena itu kita sebagai calon guru masa depan yang baik, haruslah mempersiapkan segala sesuatunya, baik itu dari segi disiplin ilmu, pemahaman segala konsep dan teknik segala keterampilan, hubungan sosial terhadap lingkungan, serta akhlak dari personal kita sendiri, karena bukanlah tidak mungkin, kisah dosen tadi terjadi pada diri kita, menjadi seorang pengajar yang membosankan, tidak menarik, bahkan sampai dijuluki ‘monster’ oleh anak didik kita sendiri.


C.    Model pembelajaran dengan pendekatan ekspositori

Pendekatan ekspositori merupakan suatu pendekatan yang ditinjau dari interaksi guru dengan siswa. Dalam pendekatan ini semata-mata siswa tinggal menerima apa yang disajikan oleh guru. Jadi guru telah mempersiapkan dan merencanakan secara sistimatis sehingga siswa dapat menerimanya dengan mudah. 

Untuk itu dalam proses pembelajaran guru perlu melakukan apersepsi, yaitu mengingatkan kembali pengetahuan yang berkaitan dengan bahan ajar yang akan disajikan. Dalam pembelajaran ini guru menjelaskan panjang lebar, jika perlu guru membuat gambar maupun menggunakan media yang dianggap dapat lebih mempermudah siswa memahami bahan ajar yang disampaikan.


D.    Model pembelajaran dengan Pendekatan Proses

Dalam pendekatan ini guru menciptakan kegiatan pembelajaran yang bervariasi sedemikian sehingga siswa terlibat secara aktif dalam berbagai pengalaman. Atas bimbingan guru siswa diminta untuk merencanakan, melaksanakan, dan menilai sendiri suatu kegiatan. Menurut Sagala (2003), dalam pendekatan proses ini yang dapat dilakukan siswa antara lain: mengamati gejala yang timbul, mengklasifikasikan, mengukur besaran-besarannya, mencari hubungan konsep konsep yang ada, mengenal adanya masalah, merumuskan masalah, merumuskan hipotesa, melakukan percobaan, menganalisis data dan menyimpulkan.Dalam pembelajaran PKn tidak semua aktifitas seperti tersebut diatas dilaksanakan.


E.    Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing

Dalam menggunakan metode penemuan terbimbing, peranan guru adalah: menyatakan persoalan, kemudian membimbing siswa untuk menemukan penyelesaian dari persoalan itu dengan perintah-perintah atau dengan lembar kerja. Siswa mengikuti pertunjuk dan menemukan sendiri penyelesaiannya.

Penemuan terbimbing biasanya dilakukan dengan bahan yang dikembangkan pembelajarannya secara induktif. Guru harus yakin benar bahwa bahan “yang ditemukan” sungguh secara matematis dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Seringkali peranan guru dalam penemuan terbimbing diungkapkan dalam lembar kerja penemuan terbimbing. Lembar kerja ini biasanya digunakan dalam memberikan bimbingan kepada siswa menemukan konsep atau terutama prinsip (rumus, sifat). Penyusunan lembar kerja jenis ini biasanya
diawali dari guru menyiapkan secara lengkap tahap demi tahap dalam menjelaskan adanya suatu sifat atau prinsip atau rumus.

Penjelasan ini dituang dalam suatu tulisan secara lengkap. Kemudian dipikirkan, jika penjelasan itu dilakukan di kelas, dan dilakukan dengan tanya jawab, dicatat di bagian manakah yang kiranya perlu digunakan sebagai bahan tanya jawab. Bagian yang ditanyakan ini dapat berupa pendapat siswa tentang bahan yang lalu yang perlu digunakan dalam pengembangan konsep,atau pendapat siswa tentang tahapan yang perlu dipertimbangkan dalam melangkah, atau isian yang berupa bilangan atau kata kunci dalam menuju tujuan penemuan tersebut. 

Bagian-bagian yang perlu ditanyakan tadilah yang perlu dihapus dari catatan penjelasan lengkap, dan dalam lembar kerja diungkapkan dalam bentuk tempat kosong atau titik-titik yang harus diisi oleh siswa Strategi Dan Pendekatan Dalam Model Investigasi Flenor (1974) membagi kegiatan guru menjadi 5 (lima) tahap:  

  1. Apersepsi
  2. Investigasi
  3. Diskusi
  4. Penerapan dan  
  5. Pengayaan

Pada investigasi, siswa bekerja secara bebas, individual atau berkelompok. Guru hanya bertindak sebagai motivator dan fasilitator yang memberikan dorongan siswa untuk dapat mengungkapkan pendapat atau menuangkan pemikiran mereka serta menggunakan pengetahuan awal mereka dalam memahami situasi baru. Guru juga berperan dalam mendorong siswa untuk dapat memperbaiki hasil mereka sendiri maupun hasil kerja kelompoknya.

Kadang mereka memang memerlukan orang lain, termasuk guru untuk dapat menggali pengetahuan yang diperlukan, misalnya melalui pengembangan pertanyaan-pertanyaan yang lebih terarah, detail atau rinci. Dengan demikian guru harus selalu menjaga suasana agar investigasi tidak berhenti di tengah jalan. Dalam hal investigasi yang dilaksanakan secara berkelompok, Lazarowitz dan kawan-kawannya (1988) dan juga Sharan dan para koleganya (Sharan et al, 1989; Sharan & Sharan, 1990) mendisain model kelompok investigasi yang memberikan kemungkinan siswa untuk melakukan berbagai pengalaman belajar. 


Para siswa terlibat dalam setiap tahap kegiatan 

  1. Mengidentifikasi topik dan mengorganisasi kelompoknya dalam “kelompok peneliti”, 
  2. Merencanakan tugas pembelajaran,  
  3. Melaksanakan penyelidikan,   
  4. Menyiapkan laporan,  
  5. Menyampaikan laporan akhir, 
  6. Mengevaluasi program.  

Diskusi kelompok maupun diskusi kelas merupakan hal yang sangat penting guna  memberikan pengalaman mengemukakan dan menjelaskan segala hal yang mereka pikirkan dan membuka diri terhadap yang dipikirkan oleh teman mereka. Pengalaman yang baik seperti ini akan memotivasi siswa untuk belajar dan mau menyelidiki (menginvestigasi) lebih lanjut. Pengalaman bekerjasama dalam banyak hal sangat sesuai dengan semangat gotong royong yang telah berkembang sejak lama di bumi tercinta Indonesia ini. Hal ini perlu selalu dikembangkan dengan melatihkannya kepada para siswa. 

Dalam kerja kelompok siswa, Malone dan Krismanto (1993) menemukan bahwa sebagian besar siswa menginginkan mereka sendirilah yang menentukan anggota kelompok kegiatan, dengan banyak anggota 3 − 5 orang siswa campuran putra dan putri dan dengan berbagai tingkat kemampuan siswa.
Hal ini sesuai dengan Sharan (1980) bahwa kelompok semacam itu memberikan efektifitas dalam peningkatan hasil belajar siswa.

Sikap dan kemauan siswa dalam menggunakan pendekatan investigasi tidak terlepas dari  kegemaran siswa akan matematika, pemahaman siswa tentang kegunaan matematika dan keberanian siswa untuk membentuk sendiri pengetahuan matematika mereka. Ini sesuai dengan paham yang dikembangkan oleh para pakar dan peneliti serta penganut konstruktivisme. Karena ituseberapa jauh keberhasilan penggunaan pendekatan investigasi juga antara lain tergantung ketiga faktor. Karena itu maka guru juga perlu mengetahui seberapa jauh hal di atas dimiliki siswa disamping berusaha untuk lebih memberikan pemahaman kepada para siswa. Model Pembelajara

PENDIDIKAN KARAKTER AKHMAD SUDRAJAT

Tentang Pendidikan Karakter

Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah PertamaIndonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur,  jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan.  Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif  tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik .
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.
Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan  karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia negeri maupun swasta.  Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.
Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara lain meliputi sebagai berikut:
  1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
  2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
  3. Menunjukkan sikap percaya diri;
  4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
  5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
  6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;
  7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
  8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
  9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
  10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
  11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
  12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
  13. Menghargai karya seni dan budaya nasional;
  14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
  15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
  16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
  17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat;
  18. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
  19. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
  20. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
  21. Memiliki jiwa kewirausahaan.
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan  karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.